Ini Alasan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Pernikahan Beda Agama

- 3 Februari 2023, 10:29 WIB
Hakim MK
Hakim MK /

Pengaturan pelaksanaan pencatatan perkawinan di atas menunjukkan tidak ada persoalan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan.

Justru sebaliknya dengan adanya pengaturan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara yang melangsungkan perkawinan secara sah menunjukkan bahwa negara berperan dan berfungsi memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan tangungjawab negara dan harus dilakukan dengan prinsip peraturan perundang-undangan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.

Perubahan UU Perkawinan

Dua Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan yang berbeda putusan perkara pengujian UU Perkawinan ini.

Menurut Suhartoyo, dalam konteks penegakan UU Perkawinan, fenomena perkawinan beda agama tersebut di atas seolah-olah terjadi karena “kurang atensinya” negara yang tidak mengakui dan menganggap “tidak sah secara agama” terhadap perkawinan beda agama karena legalisasi perkawinan menurut hukum sipil hanyalah berupa pencatatan administrasi.

Oleh karena itu, adanya bentuk ketidakpastian hukum demikian seyogyanya negara hadir untuk menyelesaikan permasalahan terkait melalui adanya pembangunan atau perubahan UU Perkawinan yang pada saat diterbitkannya pada tahun 1974 tentu kondisi sosial dan dinamika kehidupan masyarakat belum sekompleks saat ini.

Terlebih pada perubahan UU Perkawinan dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 hanyalah mengubah norma mengenai batas usia kawin sebagaimana implikasi dari putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017.

Dengan demikian, sambung Suhartoyo, perkawinan beda agama negara perlu mempertimbangkan agar kiranya pada masa yang akan datang jika akan dilakukan revisi terhadap UU Perkawinan dimaksud, memberikan atensi penyelesaian secara komprehensif baik secara jalan keluar atas keabsahan dari hukum agama/kepercayaannya, maupun dalam hal mengakomodir akibat hukum pencatatnnya.

Adapun substansi perubahan dimaksud tentu dengan menyesuaikan dinamika sosial dan hal-hal lain terkait yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan tentunya menyeimbangkan kebebasan beragama di satu sisi dan mengakomodir fenomena perkawinan beda agama dan tata cara pencatatannya secara bijak pada satu sisi yang lain.

Sebab, sejatinya saat ini terjadi secara faktual akibat hukum perkawinan beda agama adalah sekedar pengakuan oleh negara secara administrasi saja.

“Saya berpendapat lebih tepat bagi Mahkamah untuk mengembalikan kepada pembentuk UU yang memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan UU Perkawinan tersebut jika memang akan dilakukan perubahan. Sehingga permasalahan perkawinan beda agama dapat terselesaikan dari akar masalahnya (root cause), tidak hanya selesai dalam ranah pencatatan administrasi tetapi juga diperoleh jalan tengah yang bijak dengan tetap mengedepankan pemenuhan hak-hak warga negara untuk mempunyai kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing,” kata Suhartoyo.

Halaman:

Editor: Mitrya


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x