Ini Alasan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Pernikahan Beda Agama

- 3 Februari 2023, 10:29 WIB
Hakim MK
Hakim MK /

“Pada ketentuan Pasal 2 UU 1/1974 pencatatan yang dimaksud ayat (2) haruslah pencatatan yang membawa keabsahan dalam ayat (1).

Dengan demikian, UU tersebut menghendaki agar perkawinan yang dicatat adalah perkawinan yang sah. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara merupakan kewajiban administratif.

Sedangkan perihal sahnya perkawinan dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) a quo, negara justru menyerahkannya kepada agama dan kepercayaannya karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan,” jelas Wahiduddin.

Menurut MK, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 memberikan suatu koridor bagi pelaksanaan perkawinan bahwa agar perkawinan sah maka perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berlakunya ketentuan pasal 2 ayat (1) bukan berarti menghambat ataupun menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya.

Kaidah pengaturan norma Pasal 2 ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai memilih agama dan kepercayaan. Pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaannya tetaplah menjadi hak masing-masing orang untuk memilih, menganut dan menyakininya sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Pasal 34 UU 23/2006 menegaskan setiap warga negara yang telah melangsungkan perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan berhak mencatatkan perkawinannya pada kantor catatan sipil bagi pasangan non Islam dan KUA bagi pasangan beragama Islam. Jaminan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara juga dapat dilakukan terhadap perkawinan yang ditetapkan oleh peradilan.

Meskipun dalam penjelasannya dijelaskan perkawinan yang ditetapkan pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama, menurut Mahkamah bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama.

Karena negara atau organisasi dalam hal ini mengikuti penafsiran yang telah dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang memiliki otoritas mengeluarkan penafsiran. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran maka lembaga atau organisasi keagamaan dari individu tersebut yang berwenang menyelesaikannya.

Sebagai peristiwa kependudukan, kepentingan negara in casu pemerintah adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan oleh pengadilan.

Mahkamah menilai ketentuan tersebut harus dipahami sebagai pengaturan di bidang administratif kependudukan oleh negara karena perihal keabsahan perkawinan adalah tetap harus merujuk pada norma Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 yaitu perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Halaman:

Editor: Mitrya


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x