Saat Ini Indonesia Dinilai Lebih Korup Dibandingkan Tahun 2014, Kegagalan Pemerintah Kontrol Korupsi

- 27 Februari 2023, 19:55 WIB
Ilustrasi korupsi kecil yang sangat berbahaya dan harus dihentikan/foto/net
Ilustrasi korupsi kecil yang sangat berbahaya dan harus dihentikan/foto/net /

MataBangka.com--Saat ini Indonesia lebih korup dibandingkan tahun 2014.

Hal ini berdasarkan hasil indeks Persepsi Korupsi 2022 yang dirilis Transparansi Internasional pada akhir Januari 2023 lalu.

Kualitas pengentasan korupsi dan perwujudan demokrasi di Indonesi mengalami penurunan menjelang satu dekade pemerintahan Joko Widodo.

 

Dikutip dari pikiranrakyat.com berdasarkan hasil indeks 2022 menunjukkan Indonesia masih terus mengalami tantangan sulit untuk memerangi korupsi.

Dalam satu dekade yaitu sejak 2012, skor indeksnya hanya naik 2 poin.

Pada 2012, poinnya adalah 32, dan di tahun 2022 menjadi 34.

Saat Joko Widodo menjabat periode pertamanya di 2014, skor indeks itu juga sudah mencapai 34.

Skor terus mengalami peningkatan sampai menyentuh angka 40 pada tahun 2019.

Tetapi, di periode ke dua pemerintahannya, Indeks Persepsi Korupsi terus turun.

Tahun 2020, skor indeks menurun menjadi 37, lalu di 2021 sempat naik menjadi 38.

Tetapi, penurunan drastis terjadi antara 2021 dan 2022 yaitu mencapai 4 poin sehingga angka indeks kembali lagi ke 34.

Hal itu membuat peringkat Indonesia ada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei.

Tahun 2021, Indonesia berada di peringkat 96, sementara posisi terbaiknya di tahun 2019 sudah sempat ada di peringkat 85.

"Penurunan skor 4 poin dari 2021, penurunan yang paling drastis sejak 1995," kata Wawan Suyatmiko, Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, dari keterangan pers yang dirilis di situs milik Transparency International Indonesia.

Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, J. Danang Widoyoko, penurunan itu menjadi bukti kegagalan strategi dan program yang dibuat pemerintah Indonesia untuk mengontrol korupsi. 

Padahal, amandemen UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2019 disebutkan adanya perubahan strategi dari penegakan hukum ke pencegahan korupsi.

Pemerintah juga mengklaim bahwa beberapa program pencegahan sudah sukses dilakukan, seperti layanan publik dan investasi berbasis online.

Tetapi, angka indeks justru menunjukkan sebaliknya.

Selain itu, kontrol terhadap korupsi di sektor strategis lainnya, seperti politik dan peradilan korupsi, belum menunjukkan hasil yang positif.

Bahkan, dua sektor itu justru berkontribusi pada rendahnya angka Indeks Persepsi Korupsi.

Absensi kebijakan dan hasil yang stagnan di sektor politik dan peradilan memberikan dampak pada penurunan yang drastis pada angka indeks.

1/3 negara paling korupsi di Asia Pasifik

Penurunan Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia itu membuat posisi Indonesia pun menurun.

Saat ini, Indonesia masuk dalam kelompok 1/3 negara-negara paling korupsi dan nilai di bawah rata-rata di kawasan Asia Pasifik, yaitu skor 45.

Kondisi Indonesia setara dengan Bosnia dan Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, dan Sierra Leone, yang sama-sama memiliki skor 34.

Sementara, di kawasan ASEAN, posisi Indonesia ada di peringkat 7 dari 11 negara.

Posisinya jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand.

Penurunan itu terjadi bahkan saat Indonesia menjadi tuan rumah pada forum diplomatik terpenting di tahun 2022, yaitu forum G20.

Presiden Indonesia dinilai gagal untuk mengeluarkan komitmen dan strategi yang bisa dibuktikan dalam hal pengentasan korupsi yang menjadi agenda global.

Secara global, negara dengan nilai indeks tertinggi adalah Denmark (90), lalu diikuti Finlandia dan Selandia Baru dengan skor 87.

Angka indeks itu bisa tinggi karena demokrasi yang berkembang baik serta penghargaan atas HAM, yang sekaligus membuat negara-negara itu menjadi negara paling damai di dunia menurut Global Peace Index.

Pengaruh biaya politik dan lingkungan politik

Menurut Asep Sumaryana, pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Padjadjaran, fluktuasi dalam Indeks Persepsi Korupsi menunjukkan kebijakan itu lebih pembuatannya daripada pelaksanaannya.

Apalagi, korupsi sangat berkaitan dengan suksesi politik para pejabat publik yang telah mengeluarkan banyak biaya politik.

Dikatakannya, pejabat publik jelas memiliki otoritas dan kewenangan terhadap pengelolaan anggaran ketika dia sudah menjabat.

Namun, masalah biaya politik itu masih mengikutinya ketika dia sudah menjabat.

Selain dia yang harus mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan, begitu pula yang ada dalam anggapan para tim sukses maupun pihak lain yang telah mendukung kemenangannya.

Pejabat publik itu tahu potensi korupsi yang tidak boleh dilakukan, tapi tidak berdaya untuk menangkis lingkungan terdekatnya.

"Ini memang berkaitan dengan suksesi politik. Pola saat suksesi itu memang agak rumit dan membutuhkan biaya besar. Beda dengan negara lain yang mungkin tekanan dan tuntutan terhadap biaya tersebut tidak terlalu besar karena sistemnya sudah dilaksanakan dengan baik. Itu yang harus diperbaiki supaya pejabat publik tidak korupsi untuk menutupi biaya yang konon disebut sebagai biaya politik," kata Asep di Bandung, Jumat, 24 Februari 2023.

Selain biaya politik, dia juga menyinggung tentang lingkungan politik dan lingkungan kerja pejabat publik.

Lingkungan itu termasuk pihak-pihak nonpemerintah yang berpengaruh dalam kemenangannya mendapatkan jabatan publik.

"Sekarang sudah tahun politik, untuk melihat figur antikorupsi, kita harus melihat integritasnya dan rekam jejaknya dari tugas sebelumnya. Tetapi, kita juga harus melihat lingkungan yang mengelilingi dia, karena lingkungan bisa menjadi penyebab pejabat lakukan korupsi. Dia mau jujur, tapi lingkungannya belum tentu," imbuhnya.

Karena dua hal itu, yaitu biaya politik dan lingkungan politik, Asep mengatakan bahwa kekuatan masyarakat bisa dibangun untuk memperbaiki kondisi ini.

Kekuatan masyarakat juga bisa mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bisa mendeteksi dan membongkar tindak pidana korupsi.

Dikatakannya, perbaikan kondisi bangsa atas korupsi memerlukan keikutsertaan masyarakat untuk mengontrol kebijakan kepala desa, kepala daerah, dan kepala negaranya.

Kebijakan yang berpotensi korupsi bisa dikontrol oleh masyarakat.***

Editor: Mirwanda

Sumber: Pikiranrakyat.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah