Inilah Sejumlah Poin Potensi Jadi Pasal Karet, Buat Aliansi Nasional Reformasi KUHP Tolak RKUHP Disahkan

- 5 Desember 2022, 20:57 WIB
Tangkapan layar Youtube DPR RI   Suasana rapat DPR membahas RKUHP baru, dimana salah satunya pidana terhadap lembaga pemerintahan dengan hukuman 1,5 tahun penjara.
Tangkapan layar Youtube DPR RI  Suasana rapat DPR membahas RKUHP baru, dimana salah satunya pidana terhadap lembaga pemerintahan dengan hukuman 1,5 tahun penjara. /

MataBangka.com--Inilah sejumlah poin kenapa sejumlah elemen masyarakat mengelar aksi damai menolak disahkannya RKUHP terbaru, selain dinilai tidak partisipatif dan transparan.

Aksi damai digelar secara simbolik dengan tabur bunga dan membakar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di depan gedung DPR sebagai tanda atas kematian demokrasi di Indonesia.

Aksi itu dilakukan setelah Pemerintah dan DPR berencana mengesahkan rancangan dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada Selasa, 6 Desember 2022 meskipun menuai penolakan.

RKUHP dinilai merupakan produk hukum negara yang lagi-lagi dibentuk oleh pemerintah dan DPR dengan tidak partisipatif dan tidak transparan.

Bahkan draf terbaru dari rancangan aturan ini baru dipublikasi pada 30 November 2022 dan masih memuat sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang oleh publik.

Soalnya, pasal-pasal itu akan membawa masyarakat Indonesia masuk ke masa penjajahan oleh pemerintah sendiri.

Berdasarkan pemantauan sementara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pasal-pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP masih memuat pasal-pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat seluruh masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat.

Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja.

Ada sejumlah alasan penolakan pengesahan draf akhir RKUHP bermasalah.

Pertama terkait pasal living law atau hukum yang hidup di masyarakat.

Aturan itu dinilai merampas kedaulatan masyarakat adat, lantaran frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu.

Selain itu, keberadaan pasal tersebut dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim.

"Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri," kata Muhamad Isnur mewakili keterangan tertulis organisasi yang menolak pengesahan RKUHP pada Senin, 5 Desember 2022‎.

Selain mengancam masyarakat adat, aturan itu juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Kedua, pasal mengenai pidana mati. Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara.

Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi.

Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional.

Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati.

Ketiga, penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum.‎

Pasal itu berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”.

Pasal tersebut bakal menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.

Keempat,‎ penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.

Pasal itu berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”.

Pasal ini bisa pula membungkam berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.

Kelima, contempt of court. Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum” sehingga pasal tersebut berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa.

Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa.

Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.

Keenam, kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”.

Pasal itu berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat.

Ketujuh, penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE. Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE.

Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.

Kedelapan, larangan unjuk rasa. Pasal itu seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum” karena frasa tersebut berpotensi menjadi pasal karet yang bisa memidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya.

Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.

Kesembilan,‎ memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat.

Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini.

Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili.

Selain itu, masa kadaluwarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu yang sebentar, apalagi para pelakunyamerupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.

Kesepuluh‎, mempidana korban kekerasan seksual.

Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.

Kesebelas,‎ meringankan ancaman bagi koruptor. Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang dimana tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat.

Keduabelas, ‎korporasi sebagai entitas sulit dijerat. Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi.

Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggungjawab sebagai entitas.

Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan.

Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.***

 
 

Editor: Mitrya

Sumber: Pikiranrakyat.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x