Perpeloncoan Tidak Hanya di Indonesia, Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial Belanda

- 16 September 2023, 11:58 WIB
Ilustrasi pendidikan.
Ilustrasi pendidikan. /Pixabay/lil_foot_/

MataBangka.com - Perpeloncoan yang terjadi saat ini dalam dunia pendidikan sekarang ini, ternyata sudah terjadi sejak era kolonial Belanda dan tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun jug di negara-negara luar.

Perpeloncoan adalah kegiatan yang harus dilalui peserta didik baru, untuk mendapat pengakuan keanggotaan dalam suatu komunitas.

Kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai perundungan itu dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat, serta identik dengan masa orientasi. 

Sejarah praktik tersebut diungkap peneliti dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Ario Bimo Utomo. Menurutnya, praktik itu sudah menjadi masalah laten dunia pendidikan yang kerap dianggap tradisi.

"Kerap dianggap sebagai tradisi, ia (perpeloncoan) justru terbukti menghambat proses belajar-mengajar," ujar Ario, dilansir dari laman The Conversation.

Menurut Badan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) dalam data School Violence and Bullying: Global Status Report, sekira 246 juta siswa di seluruh dunia mengalami kekerasan setiap tahunnya. Perundungan adalah yang paling banyak terjadi di dunia pendidikan.

"Namun, yang menjadi masalah adalah perpeloncoan umumnya melibatkan aktivitas yang bersifat mempermalukan, mengintimidasi, bahkan tak jarang membahayakan pesertanya," ujar Ario.

"Perpeloncoan juga kerap dianggap sebagai sebuah “harga” yang harus dibayar seseorang untuk dapat bergabung di komunitas barunya. Ia bertujuan menguji komitmen anggota baru melalui aktivitas-aktivitas yang tak jarang abusif. Anggota yang telah menjalani perpeloncoan dianggap sah menjadi bagian dari komunitas," katanya.

Sejak era kolonial Belanda

Ario menyatakan perpeloncoan sudah terjadi sejak era kolonial Belanda. Kegiatan yang kala itu disebut ontgroening (bahasa Belanda: menghilangkan warna hijau karena mahasiswa baru dilambangkan berwarna hijau) tercatat dalam salah satu lembaga pendidikan pertama, Stovia, sekolah cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI).

Kisah alumnus Stovia sekaligus mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Mohammad Roem, perpeloncoan terjadi selama tiga bulan. Beberapa praktik di Stovia yang merupakan sekolah asrama itu adalah menyuruh mahasiswa baru memanggil seniornya dengan “Tuan”, menjadi kurir, dan mengelap sepatu.

"Istilah perpeloncoan sendiri baru muncul pada masa pendudukan Jepang. Istilah ini awalnya berasal dari kata bahasa Jawa “pelonco” yang berarti kepala gundul. Ini merujuk pada tradisi ketika mahasiswa baru wajib digunduli rambutnya untuk melambangkan anak kecil yang belum tahu apa-apa," ujar Ario.

"Memasuki periode Indonesia modern, tradisi perpeloncoan tak serta-merta hilang. Namun, resistensi juga muncul, misalnya dari sejumlah kalangan mahasiswa seperti Consentrasi [konsentrasi] Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang menyebut perpeloncoan sebagai warisan kolonial. Namun, CGMI yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian turut bubar seiring naiknya Orde Baru," katanya.

Ternyata praktik itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Hal ini didasarkan pada riset peneliti senior UNESCO asal Jepang, Toshio Ohasko, pada 1997.

Ia menyebut kekerasan di dunia pendidikan memiliki dampak yang sama besarnya baik di negara maju atau negara berkembang.

"University of Maryland di AS mencatat bahwa sejak 1970 hingga 2017, paling tidak ada satu kasus kematian per tahun akibat perpeloncoan di setiap universitas. Wujud perpeloncoan yang kerap muncul di sana adalah pemaksaan minum alkohol, pelecehan seksual, maupun aktivitas fisik di luar batas kewajaran," tutur Ario.

“Bahkan, di Korea Selatan, perpeloncoan ditengarai menjadi salah satu penyebab bunuh diri. Menggunakan studi kasus sekolah militer, Kim Jae-Yop, dosen dari School of Social Welfare Yonsei University, Korea Selatan dan rekan-rekannya, menemukan bahwa sekitar 17,6 persen taruna pernah diperlakukan di luar batas wajar pendidikan. Perlakuan ini, rupanya, konsisten dengan munculnya gejala seperti depresi dan tendensi bunuh diri," katanya. (***) 

Artikel ini bersumber dari Pikiran-Rakyat.com yang berjudul:https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-017129686/sejarah-perpeloncoan-sejak-zaman-belanda-tak-hanya-di-indonesia

Editor: Dwi Haryoto


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x