BRiNST Minta Pemerintah Evaluasi RKAB Perusahaan Smelter di Indonesia, Berpotensi Korupsi Hingga Rp2,5 Triliun

5 September 2023, 18:59 WIB
Direktur BRiNST, Teddy Marbinanda ketika memberikan keterangan pers terkait kondisi pertimahan di Bangka Belitung. /Dwi Haryoto/ MataBangka.com/

MataBangka.com - Babel Resources Institute (BRiNST) adalah lembaga independen yang meneliti kebijakan pemerintah dan secara sukarela memberikan masukan dan saran, dalam mengelola sumber daya alam (SDA). 

Lembaga ini berharap pengelolaan SDA di Indonesia bisa menyejahterakan masyarakat dan mampu memberikan kontribusi kepada negara. 

Berdasarkan hasil riset BRiNST, pemerintah harus melakukan evaluasi Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB) perusahaan smelter timah di Indonesia. 

Pasalnya, eksploitasi yang berlebihan dan tidak bisa dikendalikan akan berdampak buruk bisnis pertimahan nasional.

Diketahui berdasarkan hasil riset yang dilakukan Babel Resources Institute (BRiNST), ekspor timah Indonesia pada tahun 2022 lalu mencapai 74.408 Matrik Ton (MT), dengan rincian sebesar 19.825 MT oleh PT Timah Tbk dan 54.255 MT oleh private smelter. 

"Ekspor timah yang jor-joran menjadi sorotan, apalagi saat praktik penambangan timah secara ilegal, dan jual beli timah dikalangan kolektor/ pengepul timah ilegal masih terjadi di Bangka Belitung (Babel)," kata Direktur BRiNST, Teddy Marbinanda di Pangkalpinang, Selasa, 5 September 2023.

Lanjut Teddy, dalam catatatan BRiNST, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2022 lalu menilai perlu adanya pembenahan tata kelola industri timah dalam negeri. 

"Hal ini seiring adanya potensi kerugian negara sebesar Rp2,5 trilliun dari pertambangan timah tanpa izin (PETI), di wilayah operasi PT Timah Tbk (TINS)," ungkap Teddy. 

"Temuan yang didapati oleh BPKP ini seharusnya dicermati oleh pihak terkait, termasuk aparat penegak hukum (APH)," ujarnya. 

Menurutnya pada semester 1 tahun 2023, BRINST melihat kecenderungan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah ekspor tidak akan banyak berbeda.

Berdasarkan data hingga Juni 2023 diolah BRINST dari Kementerian Perdagangan, ekspor timah dari Indonesia mencapai 31.876,56 MT, sebagian besar ekspor tersebut berasal dari smelter swasta.

Pada semester 1 tahun 2023, PT Timah Tbk selaku pemilik konsesi terbesar di Indonesia mengekspor 8.307 MT timah, sedangkan smelter swasta mengekspor 23.570 MT.

Berdasarkan riset dan observasi lapangan dalam penerbitan RKAB tentunya harus berdasarkan pada tahapan eksplorasi yang benar, sehingga bisnis pertambangan yang adil dan bertanggung jawab dapat terwujud di Bangka Belitung

Dari data yang dipublis oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, ekspor timah mengalir deras dari perusahaan smelster timah yang hanya memiliki IUP di bawah 10 ribu hektar, bahkan ada yang di bawah seribu hektar.

Kuota ekspor yang diberikan sangat erat kaitannya dengan persetujuan RKAB yang diberikan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral Batubara, Kementerian ESDM.

Persetujuan yang semestinya harus ditinjau ulang, melihat indikasi korupsi yang terungkap akhir-akhir ini.

"Kasus korupsi pertambangan yang terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Antam, Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) bisa saja terjadi di Bangka Belitung," jelas Teddy. 

Dalam kasus tersebut RKAB yang diberikan oleh Kementerian ESDM kepada perusahaan swasta, ternyata tanpa evaluasi dan verifikasi sesuai ketentuan.

Padahal, perusahaan tersebut tidak mempunyai deposit/cadangan nikel di Wilayah Izin Usaha Pertambangan tersebut. Dari kasus tersebut beberpaa perusahaan lain turut mendapatkan kekayaan negara berupa bijih nikel milik negara (PT Antam).

Penyederhanaan aspek penilaian RKAB perusahaan pertambangan, hal itu sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor: 1806K/30/MEM/2018 tanggal 30 April 2018, rentan disalahgunakan.

"Belajar dari kasus tersebut, RKAB Bangka Belitung perlu dilakukan peninjauan ulang. Riset yang dilakukan oleh BRINST, penambangan ilegal di konsesi PT Timah Tbk maupun hutan negara, dinikmati oleh perusahaan-perusahaan yang tak patut mendapatkannya," terang Teddy lagi. 

"Akibat korupsi SDA tentunya akan merugikan masyarakat Bangka Belitung, tak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sisi lingkungan yang tak bisa dipertanggung jawabkan," paparnya. 

Teddy menambahkan dari hasil riset yang dilakukan, BRINST menyimpulkan harus adanya penindakan hukum untuk menghindari kerugian negara karena praktik. 

Kemudian penambangan timah secara ilegal saat ini membuat semua orang leluasa mengambil timah tanpa pertanggungjawaban yang jelas.

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian ESDM harus melakukan evaluasi dan mengkaji ulang RKAB perusahaan pertambangan timah di Indonesia. Kasus dugaan korupsi pertambangan yang terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan yang saat ini ditangani Kejati Sulawesi Tenggara karena Penyederhanaan aspek penilaian RKAB, menjadi rujukan hukum atas kebijakan tersebut.

"Dan PT Timah Tbk perlu melakukan upaya pembenahan internal untuk selektif mengeluarkan kerjasama kemitraan dan mengawasi secara ketat kegiatan kemitraan yang menggarap wilayah produksi mereka. Hal ini untuk meminimalisir kebocoran bijih timah ke pihak lain," imbuh Teddy. 

"Hasil riset ini pun akan kami laporkan ke instansi terkait, supaya bisa menjadi bahan evaluasi supaya RKAB tidak dengan mudah didapatkan perusahaan," pungkasnya. (***) 

 

 

 

Editor: Dwi Haryoto

Tags

Terkini

Terpopuler